Friends

Best Friends Forever

Persahabatan bagai kepompong. Mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Persahabatan bagai kepompong. Hal yang tak mudah berubah jadi indah. Persahabatan bagai kepompong. Maklumi teman hadapi perbedaan. Persahabatan bagai kepompong. Na na na na na na na na na (Sindentosca-Kepompong)

Pepatah mengatakan satu sahabat sejati lebih bernilai daripada seribu teman yang tak peduli.

Saya memiliki sahabat, nggak hanya satu tapi dua orang. Persahabatan saya dengan Menik dan Mulki sudah berumur lebih dari 20 tahun. Dulu kami bertiga sama-sama tinggal di Komplek Pertamina Sungai Gerong, sebuah wilayah di Sumatera Selatan. Saya lebih dulu mengenal Menik karena ibunya adalah teman ayah saya dan rumah kami sempat bersebelahan.

Image

Mbak Titut-Menik-Bude-saya 😀

Selain itu, saya dan Menik pun bersekolah di sekolah yang sama mulai dari taman kanak-kanak di Taman Indria sampai sekolah dasar di Taman Muda 1 yang keduanya berada di bawah naungan Taman Siswa.

Image

Coba tebak saya yang mana 🙂

Perbedaan keyakinan keluarga saya dan keluarga Menik tidak menghalangi kami untuk berteman akrab. Seingat saya, dulu kalau ada acara-acara keagamaan seperti kebaktian dan perayaan Natal, saya selalu diajak ke rumahnya apalagi kalau bukan untuk ikutan makan. Saya juga sering menginap di rumahnya untuk sekedar menikmati buah-buah langsung dari pohonnya karena di halaman rumahnya yang lebih luas dari halaman rumah saya, terdapat aneka tanaman buah seperti kedondong, jambu air, jambi biji, pisang, anggur, singkong dan talas.

Image

Saya-Menik-Neno-Okke (adik saya)

Begitu masuk sekolah dasar, Mulki mulai masuk ke dalam lingkup persahabatan saya dan Menik. Entah bermula dari mana, pokoknya kami merasakan kecocokan dalam berteman. Menik berasal dari orang tua bersuku Jawa-Palembang, Mulki orang tuanya berasal dari Padang, sedangkan saya berasal dari suku campur aduk walaupun lebih dominan Sunda 😀 Sayangnya, karena seringnya saya pindah domisili, foto-foto kebersamaan saya, Menik dan Mulki di masa lalu entah ada di mana sekarang.

Saya hanya punya satu foto Mulki, itu pun fotonya ketika sudah dewasa yang saya ambil dari akun Facebook-nya.

Image

Tahun 1993, saya harus meninggalkan Sungai Gerong mengikuti ayah saya yang pindah tugas ke Cirebon. Mau tidak mau saya pun harus berpisah dengan Menik dan Mulki. Tentu saja rasa sedih yang teramat sangat mendera kami bertiga. Bahkan di hari terakhir saya sekolah di sana, pada saat pembagian raport catur wulan pertama, kami bertiga sempat bertangisan di depan kelas, di hadapan teman-teman sekelas dan Pak Husni, wali kelas kami saat itu di kelas 6A. Sayang, foto adegan kami menangis bareng nggak tau kemana rimbanya 😀

Walaupun saya telah pindah ke Cirebon, Menik yang kemudian ketika ayahnya mengambil pensiun dini pindah ke Yogyakarta dan Mulki yang tetap di Palembang, persahabatan kami masih berlanjut. Saat itu ketika belum eranya telepon genggam dan email, berkirim surat menjadi cara satu-satunya untuk kami melepas rindu dan berkirim kabar.

Dulu ketika saya masih kuliah di Bandung, ada sebuah radio swasta yang saat itu penyiarnya masih Agus Ringgo berduet dengan Vecky Manengkey yang mempunyai program mirip-mirip acara Tali Kasih. Saya kemudian menghubungi radio tersebut agar bisa disambungkan melalui telepon dengan Mulki yang berada di Palembang. Ternyata saya terpilih sehingga bisa bicara langsung dengan Mulki dengan difasilitasi radio tersebut. Wah, sungguh saya senang bukan kepalang. Mulki tentu saja kaget mendapat telepon dari saya, apalagi percakapan kami ditayangkan di udara (walaupun hanya didengar seantero Bandung, waktu itu belum musim radio streaming).

Mengapa saya memilih menelepon Mulki bukan Menik? Jadi begini. Menik dan keluarganya menetap di Yogyakarta yang secara jarak lebih dekat dari Cirebon. Sejak kepindahan keluarga saya ke Cirebon, dalam kurun waktu sejak pindah sampai saya kuliah, saya beberapa kali berkunjung ke Yogyakarta dan tentu saja mengunjungi Menik dan keluarganya. Sedangkan dengan Mulki, sejak pindah tahun 1993 sampai saya lulus kuliah tahun 2005, saya belum pernah ketemu lagi dengan Mulki.

Ketika foto box lagi booming 🙂

BFF

Tahun 2008, untuk pertama kalinya saya, kedua orang tua dan adik-adik saya, berkunjung ke Palembang sejak kepindahan kami tahun 1993. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk mengunjungi rumah Mulki yang sejak ayahnya pensiun tidak lagi tinggal di komplek kami dulu. Saat itu dia baru menikah dan masih tinggal di rumah orang tuanya. Sayangnya, karena terlalu gembira bisa bertemu kembali dengan Mulki dan saking asyiknya mengobrol hingga malam, kami lupa berfoto bersama 😦

Saya masih ingat betul, dulu banget saat saya sedang main sendiri (tidak bersama Menik) ke rumah Mulki karena di rumahnya sedang panen jambu air, kami pernah berbincang dan mempunyai angan-angan seandainya saja Menik masuk Islam alias menjadi mua’laf. Waktu itu sih kami nggak ada tendensi apa-apa. Murni hanya pikiran anak-anak. Saya dan Mulki karena sama-sama muslim, setiap hari belajar mengaji di Masjid Jami’ di komplek. Kalau bulan Ramadhan, kami sholat tarawih bahkan sholat subuh dan tadarusan bareng. Tapi angan-angan kami itu hanya terucap di antara saya dan Mulki dan tidak merubah ikatan persahabatan antara kami bertiga.

Siapa menyangka harapan dua anak kecil di masa lalu itu dikabulkan Tuhan puluhan tahun kemudian. Tahun 2009, Menik menjadi mualaf. Namun terkait hal inilah yang sempat membuat hubungan saya dan Menik sempat merenggang. Jadi saat itu ketika dia menikah, Menik tidak memberitahu saya sama sekali. Padahal saat itu dia tinggal di Bekasi dan saya di Cikarang, yang kalau lewat jalan tol hanya memakan waktu kurang dari satu jam (dengan catatan nggak pake macet). Saya pun menuliskan pesan di inbox FB-nya dengan penuh amarah dan kekesalan. Menik pun membalasnya dengan kata-kata yang membuat saya curiga akan satu hal. Di dalam pesannya, terselip kata-katanya yang mengucapkan Alhamdulillah dan Insya Allah yang seingat saya nggak pernah dia ucapkan secara dia bukan muslim. Kecurigaan saya akhirnya terjawab ketika saya menanyakan perihal ini kepada adiknya. Penjelasan dari adiknya membuat saya menyesal telah menuduhnya macam-macam. Saya berpikir seandainya saya berada di posisinya saat itu mungkin akan melakukan hal yang sama.

Saya-Menik-Khonsa (anak pertama Menik)

Saat ini Menik yang menetap di Bekasi setelah beberapa tahun tinggal di Kuala Lumpur memiliki satu anak perempuan dan sedang mengandung anak keduanya. Alhamdulillah sejak menjadi mu’alaf Menik mengenakan hijab, bahkan hijabnya lebih rapi dari saya yang masih sering memakai celana jeans dan kerudung dengan style yang kata orang kantor aneh 😀 Sedangkan Mulki yang berprofesi sebagai guru sudah memiliki dua anak laki-laki dan sampai saat ini masih tinggal di Palembang. Sementara saya masih menunggu pangeran surga pilihan Tuhan yang kelak akan menjadi imam saya #uhuk 😀

Ah, semoga saja Allah tetap menjaga ikatan persahabatan kami bertiga. Walaupun saat ini kami memiliki kesibukan masing-masing setidaknya masih sempat berkirim kabar melalui pesan singkat dan FB.

2 thoughts on “Best Friends Forever

Leave a reply to Indah Cancel reply