Writing

Menang lomba menulis gara-gara komodo

Akhirnya saya bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang jika mereka memenangkan sebuah lomba, apapun jenis lombanya. Senang, terharu, campur aduk menjadi satu, apalagi ini lomba menulis pertama yang saya ikuti. Yak, tadi siang saya mendapatkan pesan singkat bahwa pengumuman pemenang lomba menulis kisah perjalanan (travel story) yang diselenggarakan oleh Majalah Annida diumumkan hari ini. Tadinya saya sudah tidak memikirkan tentang lomba ini lagi, karena saya mengirimkan naskahnya sudah cukup lama, sekitar bulan Juni yang lalu. Ternyata di website-nya hari ini, diumumkan bahwa saya menjadi juara 2. Pengumumannya bisa dilihat di sini.

Alhamdulillah, dari sekian banyak naskah lomba yang mungkin masuk ke redaksi Annida, naskah saya terpilih menjadi juara 2. Saya bersyukur kepada Allah SWT yang sudah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjelajahi bumi-Nya yang indah ini kemudian menuliskannya ke dalam sebuah cerita perjalanan. Selain itu saya berterima kasih kepada teman seperjalanan overland Flores yaitu Septi, Ci Eli, Connie dan Vinna serta Mbak Miyo, yang sudah membantu untuk mereview naskah saya sebelum dikirimkan ke panitia lomba.

Begini komentar dari juri yang saya dapatkan dari website-nya mengenai tulisan saya : “Pemenang ke-2 punya kemampuan bertutur yang okeh: Runut, gamblang,  info yang disajikan bisa dibilang lengkap, bahkan ketikan EYD nya pun rapi, dan yang pasti… foto-fotonya bikin mupeng, musti ikut foto bareng komodooo!” (Syamsa Hawa)

Berhubung ada beberapa teman yang menanyakan tentang tulisan yang saya buat, akhirnya saya repost saja di blog ini sekaligus sebagai arsip 🙂

Eksotisme Berkencan dengan Sang Naga Purba

Sengatan udara panas menyambut saya dan empat teman seperjalanan saat tiba di Labuan Bajo, setelah menempuh enam jam perjalanan darat dari Ruteng. Namun, panasnya Labuan Bajo sore itu tidak menyurutkan gairah kami untuk menuju negeri sang naga purba. Sebelum Labuan Bajo, kami sempat mengunjungi dan bermalam di kota-kota lain Pulau Flores seperti Ende, Bajawa dan Ruteng. Labuan Bajo, adalah ibukota Kabupaten Manggarai Barat yang terletak di Nusa Tenggara Timur.

Taman nasional dengan luas 1817 kilometer persegi ini dinobatkan sebagai The World Heritage Site oleh UNESCO pada tahun 1991. Selain itu, kawasan ini juga baru saja masuk ke dalam salah satu dari tujuh keajaiban dunia terbaru.Jarak antar pulau di kawasan ini cukup jauh sehingga tinggal di kapal adalah pilihan yang harus diambil untuk memudahkan mobilitas bila kita berkunjung ke sana. Tiga pulau besar yang berada di kawasan taman nasional ini yaitu Pulau Rinca, Pulau Komodo dan Pulau Padar.

Kami berencana melakukan sailing trip dengan tinggal di atas kapal selama tiga hari dua malam alias live on board. Tujuan kami tak lain adalah untuk melihat hewan reptil yang pertama kali ditemukan pada tahun 1911 ini di habitatnyalangsung di Pulau Rinca dan Pulau Komodo. Selain di Pulau Rinca dan Pulau Komodo, komodo juga dapat dijumpai di Pulau Gili Mota dan Nusa Kode.

Kami menyewa kapal berukuran sedang milik seorang keturunan Bugis Bone bernama Pak Marjuki. Kapal yang kami sewa mempunyai nama yang cukup unik yaitu Be’es, menurut Pak Marjuki artinya berdoa engkau selalu. Kapal bergerak menuju Pulau Rinca dengan kecepatan sedang di bawah kendali Pak Marjuki, sang kapten. Semilir angin dan senja yang perlahan menyapa horizon menemani kami yang duduk-duduk di bagian depan kapal.  Pulau Rinca dapat ditempuh selama 2 jam dari Labuan Bajo.

Malam pertama sailing trip kami habiskan di atas kapal dekat dermaga Loh Buaya, Pulau Rinca agar keesokan hari bisa langsung turun ke dermaga. Kapal yang kami sewa dinahkodai oleh seorang muslim, jadi tidak sulit untuk menanyakan arah kiblat selama di kapal karena saat itu saya lupa membawa kompas.

Pulau Rinca yang istimewa

Pukul tujuh pagi kami pun turun ke dermaga Loh Buaya. Baru saja menginjakkan kaki di dermaga, sejurus mata menangkap sebuah pergerakan di dekat gerbang selamat datang. Ternyata seekor komodo menyambut kedatangan kami. Beruntung ada seorang jagawana yang menemani kami, sehingga kami bisa melintasi gerbang dengan selamat. Selama berada di Pulau Rinca juga di Pulau Komodo, pengunjung harus selalu ditemani oleh jagawana. Bisa dibilang, jagawana adalah seorang “ksatria” yang tinggal di pulau yang bertugas menemani pengunjung. Layaknya seorang “ksatria”, jagawana melengkapi dirinya dengan sebuah senjata. Senjata itu berupa sebatang kayu bercabang dua di ujungnya, fungsinya tentu saja untuk menghalau komodo bila tiba-tiba terjadi serangan. Bayangkan bila kita “hanya” disambut oleh puluhan bahkan mungkin ratusan komodo tanpa adanya seorang jagawana?

Sebelum melakukan trekking, pengunjung terlebih dahulu harus mengurus perizinan di kantor pengelola Taman Nasional Komodo. Di kantor pengelola, kita mengisi buku tamu kemudian melakukan pembayaran untuk karcis masuk pengunjung sebesar dua ribu lima ratus rupiah per orang, karcis pengambilan foto lima ribu rupiah per kamera, karcis masuk kapal lima puluh ribu per kapal dan jasa jagawana lima puluh ribu rupiah per jagawana. Bila sudah mengurus perizinan di Pulau Rinca, maka bila kita berkunjung ke Pulau Komodo pada hari yang sama tidak perlu lagi membayar biaya karcis masuk, karcis pengambilan foto dan karcis masuk kapal. Kita hanya perlu melapor dan membayar jasa jagawana sebesar lima puluh ribu rupiah. Hal ini berlaku sama apabila kita datang terlebih dahulu ke Pulau Komodo kemudian ke Pulau Rinca. Cukup mudah dan terjangkau bukan?

Ukuran Pulau Rinca tidak seluas Pulau Komodo, sehingga peluang pengunjung bertemu sang naga purba yang menurut penelitian sudah hidup sejak ratusan tahun lalu ini lebih besar. Malah di Pulau Rinca, ora (ora adalah sebutan masyarakat di Pulau Komodo dan sekitarnya untuk komodo) sering terlihat berkeliaran di sekitar rumah-rumah panggung yang dijadikan sebagai kantor, asrama para jagawana, dapur dan tempat menjual souvenir. Cukup seram juga melihat hewan yang sesekali menjulurkan lidah berbentuk V-nya itu berkeliaran, mengingat di dalam mulut sang kadal raksasa ini mengandung sekitar 60 bakteri sehingga kalau kita digigit ancamannya adalah kematian.

Selain menemani pengunjung trekking menyusuri Pulau Rinca, jagawana juga berkewajiban memberikan penjelasan kepada pengunjung mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan pengunjung selama berada di Pulau Rinca. Hal-hal terlarang itu antara lain dilarang merokok, dilarang membuang sampah sembarangan, selama trekking jangan memisahkan diri dari rombongan keluar dari jalur trekking, bila bertemu dengan komodo pada saat trekking jangan lari karena berpotensi komodo akan menyerang dan dilarang berisik. Bagi pengunjung wanita yang sedang haid dilarang untuk ikut turun ke pulau, karena komodo sangat sensitif terhadap bau darah. Jangan sampai kita berbohong mengatakan sedang tidak haid padahal sedang haid, akibatnya bisa fatal. Komodo bisa mencium bau darah dari radius 9 sampai 11 kilometer.

Setelah berfoto dengan jarak yang cukup dekat dari komodo, kami pun mulai menaiki bukit yang menjadi jalur trekking. Dari bukit itu, sejauh mata memandang adalah sabana dengan kontur bukit yang menarik dan juga laut yang membiru. Selama trekking, kami sempat bertemu dengan satu ekor komodo dewasa dengan posisi kami berada di belakang sang komodo.

Kami juga ke lokasi sarang komodo. Di sarang inilah biasanya tersimpan telur-telur komodo yang nantinya akan menetas menjadi anak komodo. Sekali bertelur biasanya akan menghasilkan 15-30 butir. Tapi hanya 3-4 ekor anak komodo yang biasanya mampu bertahan hidup.

Anak komodo yang bertahan hidup akan tinggal di atas pohon untuk menghindari kanibalisme dari komodo dewasa termasuk induknya sendiri. Selama 3 tahun di atas pohon, anak komodo mengkonsumsi serangga sebagai makanannya. Setelah lewat masa 3 tahun, anak komodo akan hidup di habitat seperti komodo dewasa karena sudah mulai mengkonsumsi daging sebagai makanannya.

Selain komodo, di Pulau Rinca juga hidup kerbau liar, rusa, kuda liar dan kera. Hewan-hewan inilah yang menjadi makanan bagi komodo. Komodo hanya makan satu kali dalam satu bulan. Setelah makan, komodo harus berjemur untuk melancarkan proses pencernaannya, karena bila tidak, makanan akan membusuk dan justru akan meracuni dirinya sendiri.

Pada saat kami berkunjung ke Pulau Rinca, hanya rombongan kami yang orang Indonesia. Sisanya adalah rombongan turis-turis asing. Sungguh kenyataan yang ironis.

Pantai Merah, bukan pantai biasa

Mengunjungi pantai yang pasirnya berwarna putih atau coklat itu sudah biasa. Penasaran dengan pantai yang pasirnya berwarna kemerahan? Datanglah ke Pantai Merah. Pantai Merah adalah bagian dari Pulau Komodo namun berada di sisi yang berbeda dengan Loh Liang, gerbang masuk untuk melakukan trekking. Kita bisa melakukan kegiatan snorkeling atau hanya sekedar bermain pasir di pantai ini.

Pantai istimewa inibernama Pantai Merah atau Pink Beach karena memang pasirnya bukan berwarna putih tapi bersemu-semu merah. Serpihan karang yang berwarna merah dan cangkang hewan laut yang berwarna merah muda yang menyebabkan warna pasir di pantai ini berbeda dari pantai pada umumnya.

Dari jauh, hamparan gradasi warna air laut mulai dari biru tua, biru muda sampai biru toska memanggil kami untuk ikut merasakan keindahannya. Bukit menghijau yang tersaji pun begitu menyejukkan. Tak hanya pemandangan di atas lautnya yang indah, pemandangan bawah laut perairan di sekitar Taman Nasional Komodo pun tak kalah menakjubkan. Pemandangan bawah laut yang indah ini sudah terkenal di kalangan penyelam dalam negeri maupun mancanegara. Suguhan soft coral berbagai bentuk dan ikan-ikan beraneka warna sangat memanjakan mata.

Keajaiban dunia itu ada di sini, Pulau Komodo

Puas menikmati Pantai Merah, kami menuju Loh Liang, Pulau Komodo untuk melihat populasi komodo di sana sekaligus trekking sore. Loh Liang sendiri merupakan pintu masuk bila kita ingin trekking di Pulau Komodo. Perlu waktu sekitar 1 jam dari Pantai Merah menuju Loh Liang.

Di Pulau Komodo tersedia pilihan trekking, ada short trail, medium trail, long trial bahkan adventure (trekking sepanjang 8 km sampai ke Gunung Ara). Karena sudah cukup lelah, kami pun memilih medium trail. Menurut cerita jagawana, komodo terbesar di Pulau Komodo yang pernah ditemukan adalah panjangnya lebih dari 3 meter dengan berat sekitar  90 kg. Di Pulau Komodo tak lupa kami berfoto bersama komodo yang sedang asyik bersantai, tapi tetap saja kami harus waspada karena karakter hewan ini tidak bisa ditebak.

Selain sebagai habitat komodo, di pulau ini terdapat populasi burung kakaktua. Ada sebuah bukit untuk mengamati burung kakaktua bernama Sulphurea Hill. Saya pikir tadinya tempat bernama Sulphurea Hill  ini semacam bukit yang ada sumber mata air panas bercampur belerang. Rencana semula, selesai trekking di Pulau Komodo kami hendak bermalam di perairan dekat Pulau Gili Laba, tetapi karena arus sudah kencang, akhirnya kami bermalam di dekat dermaga Pulau Komodo.

Bagai Manusia Laba-laba di Gili Laba

Gili Laba adalah sebuah pulau berbukit tidak berpenghuni yang terletak di Laut Flores. Perjalanan dari Loh Liang menuju Gili Laba memakan waktu sekitar dua jam. Kapal berlabuh beberapa meter dari pantai, kemudian menggunakan jukung kami diantar hingga ke pantai oleh ABK yang sekaligus akan menjadi pemandu kami melakukan trekking di Gili Laba.

Trekking di Gili Laba hingga ke puncak bukitnya terkenal sulit. Butuh waktu sekitar dua jam untuk kami mendaki hingga mencapai puncak. Medan yang curam dengan kemiringan nyaris 90 derajat sangat membuat tenaga terkuras, keringat mengucur deras dan nafas tersengal-sengal. Selama mendaki, kaki mengandalkan batu sebagai tumpuan pijakan sementara tangan berpegangan pada rerumputan yang mendominasi wilayah itu, belum lagi saya harus menjaga kamera yang saya bawa. Menjelang puncak bahkan kami harus merayap seperti Spiderman untuk mencapainya. Diperlukan ekstra kehati-hatian saat pendakian, karena bila tidak, kita berpotensi jatuh meluncur bebas ke bawah.

Alhamdulillah dan Subhanallah, dua kata yang terlontar saat akhirnya kami tiba di puncak Gili Laba. Rasa lelah dan penat terbayar oleh hamparan pemandangan spektakuler nan indah. Pemandangan teluk melengkung dihiasi air laut biru tua bergradasi biru toska di tepiannya. Panorama dari bukit Gili Laba ini salah satu yang tercantik yang pernah saya lihat seumur hidup saya. Decak kagum dan segala puji-pujian bagi Allah Sang Maha Pencipta tak henti-henti keluar dari mulut saya atas anugerah-Nya menciptakan alam yang luar biasa indah ini serta memberikan saya kesempatan untuk melihat dan menikmatinya secara langsung.

Pengalaman berpetualang di Taman Nasional Komodo kali ini lagi-lagi membuat saya bangga dan bersyukur menjadi orang Indonesia yang dianugerahi alam yang begitu kaya dan eksotis. Rasanya tidak rela meninggalkan sepenggal surga dunia ini. Dalam hati, saya berucap semoga suatu hari nanti saya bisa kembali lagi ke tempat ini.

Menuju Taman Nasional Komodo

Labuan Bajo merupakan akses terdekat menuju Taman Nasional Komodo. Dari Jakarta tidak ada penerbangan langsung ke Labuan Bajo. Kita harus mengambil penerbangan ke Denpasar terlebih dahulu, baru kemudian melanjutkan penerbangan ke Labuan Bajo.

Cukup banyak maskapai penerbangan yang melayani rute Jakarta-Denpasar seperti Garuda Indonesia, Lion Air, Citilink, Sriwijaya Air, Batavia Air dan lain-lain. Sementara itu tidak banyak maskapai penerbangan yang melayani rute Denpasar-Labuan Bajo. Beberapa maskapai penerbangan yang melayani rute Denpasar-Labuan Bajo antara lain Wings Air, Sky Aviation, Merpati Airlines dan Trans Nusa. Umumnya untuk tujuan kota-kota kecil di wilayah Indonesia Timur, termasuk Labuan Bajo, maskapai penerbangan menggunakan pesawat kecil berbaling-baling.

Dari Labuan Bajo menuju Taman Nasional Komodo kita bisa menyewa kapal. Pilihan sailing trip yang bisa diambil antara lain dua hari satu malam, tiga hari dua malam bahkan lebih dari itu tergantung rute yang akan diambil, ketersediaan waktu dan tentu saja dana.

Sebaiknya untuk sailing trip dilakukan secara rombongan minimal lima orang untuk menghemat biaya sewa kapal. Biaya sewa kapal untuk tiga hari dua malam untuk lima orang menghabiskan sekitar lima juta rupiah. Biaya tersebut sudah termasuk sarapan, makan siang dan makan malam selama sailing trip. Bila rombongan mencapai 20 orang, bisa menyewa kapal yang cukup besar dengan biaya sekitar enam juta rupiah per hari.

Fakta-fakta mengenai komodo

  1. Populasi komodo saat ini ada sekitar 2500 ekor. Populasi komodo jantan lebih banyak daripada komodo betina.
  2. Musim kawin komodo berlangsung pada bulan Mei sampai Agustus.
  3. Komodo betina memiliki moncong yang lebih runcing dan badan yang lebih kecil dibandingkan komodo jantan.
  4. Komodo jantan memiliki 2 alat kelamin.
  5. Masa pengeraman telur komodo berlangsung 7 sampai 8 bulan (telur komodo biasanya menetas di bulan April).
  6. Kecepatan lari komodo bisa mencapai 18-20 km/ jam.

2 thoughts on “Menang lomba menulis gara-gara komodo

Leave a comment